Tanaman paku-pakuan, yang dulunya dianggap sebagai penghuni lembap di hutan dan pinggir jurang, kini sedang naik daun dan membuat fenomena yang disebut "Demam Paku." Trend ini dimulai sejak masa pandemi tahun 2020 ketika banyak orang kembali mencari kedamaian melalui tanaman hias di rumah.
Setelah popularitas Monstera dan Anthurium mereda, para pencinta tanaman mulai mencari jenis yang lebih unik, langka dan otentik. Tanaman paku memenuhi kriteria ini karena tanaman ini begitu eksotis, memiliki ribuan bentuk, dan menyimpan sejarah evolusi yang sangat panjang dimana diketahui dan diperkirakan sudah hidup di bumi lebih dari ratusan juta tahun yang lalu, bahkan sebelum dinosaurus ada.
Kini, tanaman paku telah menjadi komoditas bernilai tinggi. Data menunjukkan pencarian di mesin pencari Google atau Google trend untuk "Fern Indonesia" naik hampir 200 persen dalam dua tahun terakhir. Di pasar lokal, penjualan paku hias seperti Asplenium dan Platycerium meningkat tiga kali lipat.
Hebatnya, trend ini sudah merambah ke pasar internasional, dengan koleksi dari Indonesia dikirim ke Eropa, Jepang dan Taiwan. Para pelaku bisnis di Indonesia bahkan bisa meraup omzet puluhan juta rupiah per pengiriman, atau menjual lebih dari 100 pot dalam sehari. Secara keseluruhan, nilai ekspor tanaman hias Indonesia naik signifikan, di mana sebagian besar peningkatannya disumbang oleh tanaman berdaun unik, termasuk paku-pakuan ini.
Keindahan tanaman paku terletak pada variasi bentuknya, mulai dari yang lembut seperti renda hingga yang kokoh menyerupai tanduk rusa. Jenis-jenis yang paling dicari termasuk Selaginella Siamensis Blue dengan warna biru unik, dan Asplenium Antiquum Lasagna dengan daun keriting tebal.
Indonesia sendiri disebut sebagai "Fern Paradise" karena memiliki sekitar seperempat dari seluruh kekayaan spesies paku di dunia. Namun, membudidayakan paku tidaklah mudah. Tanaman ini adalah pecinta kelembapan (higrofit), sehingga kuncinya adalah meniru habitat aslinya dimana tanaman paku akan lebih baik diletakkan di tempat teduh, membutuhkan udara lembap dan sirkulasi udara yang baik. Beberapa jenis langka bahkan sulit diperbanyak, yang membuat harga jualnya semakin mahal.
Di sisi lain, kebangkitan bisnis tanaman paku juga membawa tantangan, yaitu ancaman eksploitasi alam liar. Banyak jenis langka yang populasinya berkurang karena diambil langsung dari hutan. Oleh karena itu, para kolektor dan ahli botani memberi penjelasan pentingnya budidaya berkelanjutan, yaitu melalui riset dan kultur jaringan.
Jika dilakukan dengan pendekatan ilmiah, diperkirakan nilai ekspor tanaman hias Indonesia, khususnya paku-pakuan, bisa menembus 25 juta US Dolar pada tahun 2027. Bisnis paku-pakuan ini mengajarkan bahwa tanaman yang tenang dan sederhana pun bisa tumbuh menjadi peluang ekonomi yang luar biasa, asalkan dijaga dan dikembangkan dengan sabar dan berkelanjutan.
Semoga infonya bermanfaat.
Kuningan November 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan akan di moderasi dulu